Sikap rasa syukur merupakan maqam atau tingkatan yang paling tinggi. Syukur terbangun atas lima prinsip: ketundukan, kecintaan, pengakuan nikmat, sanjungan dan pujian, serta memanfaatkan kenikmatan untuk sesuatu yang diperbolehkan.
Dengan demikian, sikap syukur merupakan bentuk pengakuan terhadap nikmat yang diberikan atas dasar ketundukan, menyandarkan segala kenikmatan kepada Pemiliknya, memuji Yang Memberi nikmat dengan selalu mengingat kenikmatan-Nya, menetapkan hari untuk mencintaiNya, anggota badan untuk menaatiNya dan lisan untuk berzikir kepadaNya.
Rasulullah SAW di kala pagi dan sore hari selalu membaca doa:
“Ya Allah! Tidak ada dariku dari kenikmatan atau dari seorang pun makhluk-Mu kecuali hanya dari-Mu. Engkaulah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu. Bagi-Mu segala pujian dan syukur.
Imam Ibn Rajab berkata, “Syukur itu harus dilakukan dengan hati, lisan dan anggota badan.”
3 Cakupan Rasa Syukur Seorang Hamba
Sikap syukur seorang hamba selalu mencakup tiga hal, yaitu:
- Mengakui kenikmatan yang diterima secara batin, yakni bersyukur dengan hati
- Membicarakan kenikmatan secara lahir, yakni bersyukur dengan lisan
- Memanfaatkan kenikmatan dalam rangka menaatiNya dan mencegah diri dari kemaksiatan.
Karena itu syukur dengan hati adalah mengakui kenikmatan yang dimiliki Allah. Yakni bahwa kenikmatan itu dariNya dengan keutamaanNya. Di antara bentuk syukur dengan hati adalah mencintai Allah atas segala kenikmatanNya.
Baca juga: Mengenal Babus Shadaqah, Pintu Surga Bagi Ahli Sedekah
Adapun syukur dengan lisan adalah memuji kenikmatan, mengingatnya, dan memperlihatkannya. “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” (QS. Ad-Dhuha: 11)
Sedangkan syukur dengan anggoata badan adalah tidak memanfaatkan kenikmatan kecuali untuk menaati Allah. Dan bersikap hati-hati dari menggunakannya untuk hal-hal kemaksiatan.
Keutamaan Rasa Syukur kepada Allah SWT
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim: 7)
Dalam ayat tersebut, Allah mengikat tambahan keutamaanNya karena sikap syukur, sedangkan tambahan dari Allah itu tidak ada batasnya, sebagaimana tidak ada batas akhir untuk bersyukur kepadaNya. Dan ketika Iblis mengetahi keutamaan rasa syukur yang sangat tinggi, ia menjadikan tujuannya untuk menghalangi manusia bersyukur kepada Allah SWT.
Iblis akan mendatangi manusia dari segala arah. Ia akan menghalangi manusia dari jalan kebaikan, membungkus kebatilan dengan kebaikan, menanamkan kecintaan kepada dunia, dan menumbuhkan keraguan pada akhirat. Sehingga, Allah tidak mendapati kebanyakan manusia bersyukur kepada nikmatNya.
Bentuk Rasa Syukur yang Utama
Nabi Musa as. berkata, “Wahai Tuhanku! Apakah bentuk syukur yang paling utama?” Allah menjawab, “Bersyukur kepadaKu dalam setiap keadaan.”
Demikian juga Nabi Ibrahim as. memiliki teladan dalam menunjukkan sikap syukur, ketika Allah memujinya karena dia selalu mensyukuri kenikmatanNya.
“(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (QS. An-Nahl: 121)
Sesungguhnya para Nabi adalah teladan yang harus diikuti dalam kebaikan. Termasuk contoh dari bagaimana sikap syukur yang semestinya dilakukan seorang hamba kepada Penciptanya.
Referensi: ‘Iwadh, Ahmad ‘Abduh, 2008, Mutiara Hadis Qudsi Jalan Menuju Kemuliaan dan Kesucian Hati, Bandung: PT Mizan Pustaka