Penjelasan tentang I’tikaf tentu perlu diketahui bagi umat Islam, terutama untuk mereka yang berniat mengerjakannya. Melaksanakan ibadah i’tikaf adalah salah satu amal yang amat dianjurkan untuk dikerjakan khususnya di bulan Ramadhan adalah beri’tikaf di dalam masjid. Rasulullah SAW terbiasa menjalankannya, khususnya di 10 hari terakhir Ramadhan.
Pengertian I’tikaf
Secara bahasa, i’tikaf berasal dari bahasa arab akafa (عكف) yang bermakna al-habsu (الحبس) atau memenjarakan. Allah SWT menggunakan istilah akafa dalam bentuk ma’kuf, dalam salah satu ayat Quran, dengan makna menghalangi.
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidilharam dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan) nya. (QS. Al-Fath : 25)
Maka i’tikaf secara bahasa bisa diartikan Memenjarakan diri sendiri dari melakukan sesuatu yang biasa.Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, definisi i’tikaf adalah : Berdiam di dalam masjid dengan tata cara tertentu dan disertai niat. (Al-Mughni jilid 2 halaman 183)
Penjelasan Tentang I’tikaf Serta Dalilnya
Ibadah i’tikaf disyariatkan lewat Al-Quran dan Al-Hadits. Di antara ayat Quran yang membicarakan i’tikaf adalah :
“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud”.(QS. Al-Baqarah : 125)
“janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Sedangkan dari hadits nabawi, ada banyak sekali keterangan bahwa beliau SAW melakukan i’tikaf, khususnya di bulan Ramadhan. Bahkan beliau SAW menganjurkan sebagai shahabat untuk ikut beri’tikaf bersama beliau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Sedangkan dari hadits nabawi, ada banyak sekali keterangan bahwa beliau SAW melakukan i’tikaf, khususnya di bulan Ramadhan. Bahkan beliau SAW menganjurkan sebagai shahabat untuk ikut beri’tikaf bersama beliau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.“Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
Baca juga: Peristiwa Nuzulul Qur’an dan Keistimewaannya
Hukum I’tikaf
Seluruh ulama sepakat bahwa secara hukum asal, ibadah i’tikaf itu hukumnya sunnah. Dan bisa berubah menjadi wajib, manakala seseorang bernadzar untuk melakukannya.
1. Sunnah
Meski sepakat bahwa hukum i’tikaf itu sunnah, namun para ulama berbeda pendapat tentang martabat dan level kesunnahannya.
Mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukumnya sunnah muakkadah, yaitu pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Sedangkan di luar sepuluh hari itu, hukumnya mustahab. Yang masyhur dari mazhab Al-Malikiyah, bahwa i’tikaf itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnah.
Ibnu AbdilBarr berkata bahwa i’tikaf hukumnya sunnah pada bulan Ramadhan, dan mandub di luar Ramadhan. Sedangkan mazhab Asy-Syafi’iyah memandang semua i’tikaf itu hukumnya sunnah muakkadah, kapan saja dilakukan. Namun bila dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, level kesunnah-muakkadahannya lebih tinggi lagi.
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanabilah, i’tikaf hukumnya sunnah, dan lebih tinggi nilai kesunnahannya kalau dilakukan pada bulan Ramadhan. Dan bila dilakukan pada sepuluh hari yang terakhir, nilai kesunnahannya lebih tinggi lagi.
2. Wajib
Namun hukum i’tikaf akan berubah menjadi wajib, apabila seseorang bernadzar untuk melakukan i’tikaf, yaitu apabila permohonannya dikabulkan Allah SWT.
3. Sunnah Kifayah
Biasanya kita mengenal istilah fardhu kifayah, misalnya kewajiban menshalatkan jenazah. Mazhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa huku beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, buat penduduk satu kawasan, hukumnya secara kolektif sunnah kifayah. Konsekuensinya mirip dengan fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada seseorang yang mengerjakannya di suatu kawasan, maka gugurlah keharusan beri’tikaf. Sebaliknya, bila tidak satu pun yang mengerjakannya, maka mereka berdosa, hanya saja dosanya tidak seperti dosa meninggalkan fardhu kifayah. Dosanya hanya dosa kecil atau ringan.
Rukun I’tikaf
Rukun Jumhur ulama menyepakati bahwa dalam satu ibadah i’tikaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi, yaitu orang yang beri’tikaf (mu’takif), niat beri’tikaf, tempat i’tikaf (mu’takaf fihi) dan berada di dalam masjid.Namun mazhab Al-Malikiyah menambahkan satu rukun lagi, yaitu puasa. Maksudnya, yang namanya beri’tikaf itu harus dengan cara berpuasa juga. Sedangkan mazhab AlHanafiyah justru hanya punya satu saja rukun i’tikaf, yaitu berada di dalam masjid. Sedangkan rukun-rukun yang lainnya, oleh mazhab ini tidak dimasukkan sebagai rukun, melainkan sebagai syarat.Referensi: Sarwat, Ahmad. 2011. Seri Fiqih Kehidupan (5) : Puasa. Jakarta: DU Publishing