Mengenalkan Perintah Mengerjakan Shalat Kepada Anak
Apabila seorang anak telah mencapai umur tujuh tahun, orangtua atau walinya hendaklah menyuruhnya melaksanakan salat, meskipun anak tersebut belum wajib melaksanakannya. Anak tersebut hendaknya memerhatikan serta melatih dirinya untuk menunaikan salat yang menjadi kewajibannya selaku seorang muslim. Dengan amalan tersebutlah, ia dan orangtuanya akan memperoleh pahala dari salatnya tersebut.
Hal ini sesuai dengan keumuman firman Allah SWT:
Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. (Al-An’aam: 160).
Juga, berdasarkan sabda Rasulullah ketika datang seorang perempuan dan menyodorkan anaknya kepada Nabi sambil bertanya, apakah haji anak ini sah? Rasulullah Menjawab:
نَعَمْ، وَلَكِ أَجْرُ
Ya. Kamu juga memperoleh pahala.
Oleh karena itu, para orangtua seharusnya mendidik anak-anaknya tata cara salat serta bersuci sebagai syarat sah salat. Apabila seorang anak telah mencapai usia sepuluh tahun, wali atau orangtuanya memukulnya jika ia lalai dalam menunaikan salat.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
“Suruhlah anak-anak kalian untuk menunaikan salat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun kalau mereka melalaikannya, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”(HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan lainnya).
Perintah Mengerjakan Shalat & Larangan Mengakhirkannya
Tidak boleh mengakhirkan salat dari waktunya. Allah berfirman: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.. (An-Nisa:103)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa salat dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu dan tidak boleh mengakhirinya dari waktu tersebut kecuali bagi orang yang hendak menjamak (menggabungkan salat dengan salat sesudahnya). Hal ini dibolehkan dengan syarat salat tersebut tergolong salat yang boleh dijamak. Orang yang melakukannya termasuk orang- orang yang diperbolehkan untuk menjamak. Karena itu seorang muslim juga perlu mengetahui syarat shalat jamak.
Seorang muslim tidak boleh mengakhiri, menunda atau menyengaja untuk melalaikan waktu salat. Seperti, mengakhiri salat yang harus dilakukan pada malam hari ke siang hari atau sebaliknya, atau mengakhirkan salat subuh sampai terbitnya matahari, maka tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun, seperti karena junub, terkena najis atau hal lain. Salat-salat tersebut wajib dilaksanakan pada waktunya masing-masing.
Baca juga: Perintah dan Dalil Kewajiban Salat Lima Waktu
Kewajiban yang Perlu Muslim Tahu Tentang Perintah Mengerjakan Shalat
Sebagian orang awam, ketika sedang dalam pengobatan dan terbaring di rumah sakit serta tidak bisa turun dari ranjangnya, atau tidak bisa mengganti pakaiannya yang terkena najis, tidak ada debu untuk melakukan tayamum atau tidak ada yang bisa mengambilkan debu untuknya, mereka mengakhirkan salat dari waktunya dan mengatakan bahwa mereka akan melakukannya ketika telah hilang uzur. Ini adalah kesalahan besar dan merupakan sikap menyepelekan salat, yang disebabkan oleh kebodohan dan keengganan untuk bertanya. Orang yang dalam kondisi seperti ini tetap wajib melaksanakan salat pada waktunya. Salatnya dianggap sah meskipun dilakukan dalam keadaan tersebut, tanpa melakukan tayamum atau dengan baju yang terkena najis.
Allah berfirman: Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At-Taghaabun: 16). Jika ia tidak bisa menghadap kiblat, maka salatnya tetap sah.
Barang siapa meninggalkan salat karena malas atau menyepelekannya, tidak karena mengingkari kewajibannya, maka ia dianggap kafir menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama. Ini adalah pendapat yang tidak diragukan kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang ada. Seperti Hadis:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ
Yang membedakan antara seorang Muslim dan kafir adalah meninggalkan salat. (HR Muslim dan para imam lain). Masih banyak dalil-dalil lainnya yang menjelaskan hal tersebut.
Seyogianya, orang yang tidak melaksanakan salat diberitahukan kepada khalayak umum, agar ia merasa malu sehingga mau melaksanakannya. Tidak perlu mengucapkan salam kepadanya serta memenuhi undangannya, sampai ia bertaubat dan mendirikan salat. Karena, salat merupakan tiang agama dan pembeda antara orang Muslim dan kafir. Saking tingginya kedudukan dalam perintah shalat, berapapun kebajikan yang dilakukan seorang hamba, hal itu tidaklah bermanfaat baginya jika ia meninggalkan salat. Semoga Allah memberi ampunan kepada kita.
Daftar Pustaka: Al-fauzan, Saleh bin. 2020. Ringkasan Fiqih Islam (Ibadah & Muamalah) Yogyakarta: Penerbit Mueeza.