Hari raya akan tiba, apa saja sunnah shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha?
Shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) itu disyariatkan pada tahun pertama dari hijrah Rasulullah saw. Hukum melaksanakannya adalah sunat mu’akkad, yang oleh Nabi saw, selalu dikerjakan, dan disuruhnya semua lelaki atau perempuan agar menjalankannya.
Amalan-Amalan Sunnah Shalat Hari Raya
5 Sunnah Shalat Hari Raya
1. Sunat mandi, memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian yang terbaik
Dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya seterusnya dari kakeknya: “Bahwa Nabi saw. memakai baju buatan Yaman yang indah pada setiap hari raya.” (Diriwayatkan oleh Syab’i dan Baghawi)
Dan dari Hasan as Shibti, berkata: “Rasulullah saw. memerintahkan kami agar pada hari raya itu mengenakan pakaian yang terbagus, memakai wangi-wangian yang terbaik, dan berkurban dengan hewan yang paling berharga. (Diriwayatkan oleh Al Hakim)
Berkata Ibnul Qaiyim: “Pada kedua hari raya itu, Rasulullah saw. biasa mengenakan pakaian yang terbaik, dan ada sepasang pakaian beliau yang khusus digunakannya pada shalat hari raya dan shalat Jumat.”
2. Makan dulu sebelum shalat ‘Idhul Fitri, sebaliknya pada ‘Idul Adha tidak makan dahulu
Sunnah shalat hari raya selanjutnya adalah disunatkan memakan beberapa biji kurma dengan jumlah ganjil sebelum pergi mengerjakan shalat Idul Fitri, dan menangguhkan makan itu pada hari raya Idul Adha sampai kembali pulang, kemudian baru memakan daging kurban kalau sedang berkurban.
Dari Anas, berkata: “Pada waktu ‘Idul Fitri Rasulullah SAW tidak berangkat ke tempat shalat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang ganjil (Riwayat Ahmad dan Bukhari)
Dan dari Buraidah, katanya: “Nabi saw tidak berangkat pada waktu ‘Idul Fitri sebelum makan dulu, dan tidak makan pada waktu ‘Idul Adha sebelum pulang.” (Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Ibnu Majah, juga oleh Ahmad yang menambahkan: “Kemudian beliau makan dari hasil kurbannya.”
Baca juga: Salat Hari Raya: Pengertian, Penjelasan dan Sunnah-sunnahnya
3. Pergi menuju lapangan shalat Id
Shalat hari raya itu boleh dilakukan di mesjid, tapi lapangan di luar mesjid adalah lebih utama. Demikian itu ialah selama tidak ada halangan seperti hujan dan sebagainya, sebab Rasulullah saw. biasa melakukan shalat dua hari raya itu di sebuah lapangan di pintu Timur kota Madinah, dan tidak pernah melakukannya di mesjid, kecuali hanya sekali yaitu ketika turun hujan.
Dari abu Saʻid al-Khudri r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar ke lapangan tempat salat (mushala) pada hari Idulfitri dan Iduladha, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah salat, kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada saf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah … [HR al-Bukhari].
4. Ikut sertanya wanita dan anak-anak
Disyari’atkan pada kedua hari raya itu keluarnya anak-anak serta kaum wanita, termasuk gadis atau janda, yang masih remaja atau yang sudah tua, bahkan juga wanita-wanita yang sedang haid, berdasarkan hadits Ummu Athiyyah:
“Kami diperintahkan untuk mengeluarkan semua gadis dan wanita yang haid pada kedua hari raya, agar mereka dapat menyaksikan kebaikan hari itu, Juga doa dari kaum Muslimin. Hanya saja supaya wanita yang haid menjauhi tempat shalat. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Juga dari Ibnu Abbas, berkata:
“Saya ikut pergi bersama Rasulullah saw. menghadiri hari raya Idul Fitri dan ‘Idul Adha, kemudian beliau bershalat dan berkhotbah, dan setelah itu mengunjungi tempat kaum wanita, lalu mengajar dan menasehati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah” (HR. Bukhari)
5. Menempuh jalan yang berbeda
Sebagian besar ahli berpendapat bahwa pada shalat ‘Id disunatkan menempuh jalan yang berlainan ketika pergi dan pulang, baik sebagai imam maupun makmum.
Dari Jabir r.a.: “Bahwa Nabi saw. pada waktu hari raya, menempuh jalan yang berlainan.” (Riwayat Bukhari)
Dan dari Abu Hurairah r.a., “Apabila Nabi saw. pergi shalat hari raya, maka ketika pulang dia menempuh jalan yang berlainan dengan waktu perginya. (Riwayat Ahmad, Muslim dan Turmudzi)
Meski demikian tidak mengapa kalau menempuh jalan yang sama antara pergi dan pulang jika memang tidak memungkinkan.
Daftar Pustaka: Sabbiq, Sayyid. (1976). Fikih Sunnah 2. Bandung: PT Alma’arif