“Bagaimana cara mensyukuri nikmat yang diperoleh dengan perbuatan?”
Dalam satu hadis Aisyah r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidaklah Allah mengaruniakan nikmat kepada seorang hamba, lalu dia pun mengetahui bahwa kenikmatan itu dari sisi Allah, kecuali wajib bagi dirinya untuk bersyukur. Dan tidaklah Allah mengetahui seorang hamba yang senantiasa berbuat dosa, kecuali Allah akan mengampuninya sebelum dia beristighfar kepada-Nya. Dan seseorang yang membeli pakaian dengan dinar, lalu dia memakainya, dan bertahmid kepada Allah sehingga Allah pun mengampuni dosa-dosanya.”
11 Cara Mensyukuri Nikmat yang Diperoleh
Cara Mensyukuri Nikmat yang Diperoleh
Banyak cara yang bisa dilakukan sebagai bukti untuk mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diperoleh. Di antara cara-cara itu adalah:
- Meninggalkan kemaksiatan. Makhlad ibn Husain berkata, “Syukur itu adalah meninggalkan maksiat.” Dalam hadis qudsi Allah Swt. berfirman, “Wahai manusia! Kebaikan-Ku telah turun kepadamu, sedangkan syirik telah naik kepada-Ku. Aku menumbuhkan kecintaan pada dirimu dengan kenikmatan, sedangkan engkau memancing kemurkaan-Ku dengan kemaksiatan.”
- Mengakui nikmat-Nya dengan memberikan puji-pujian kepada Allah SWT atas nikmat itu, dan tidak menggunakannya untuk sesuatu yang mengarah pada kemaksiata. Al-Hasan berkata, “Apabila Allah mengaruniakan nikmat kepada suatu kaum, Dia meminta mereka untuk bersyukur kepada-Nya. Selama mereka bersyukur, niscaya Allah Mahakuasa untuk menambah kenikmatan itu kepada mereka. Tetapi apabila mereka berterima kasih, Allah pun Mahakuasa untuk mengubah nikmat-Nya menjadi siksa-Nya.”
- Melihat orang-orang yang mendapatkan cobaan. Hal tersebut akan menanamkan sikap menghargai kenikmatan dan tidak merendahkannya. Rosululloh Saw. sabda, “Apabila salah seorang dari kalian melihat orang yang dilebihkan dari dirinya dalam masalah harta dan ciptaan, maka hendaklah dia melihat orang yang diberikan kenikmatan lebih rendah dari dirinya.”
Imam Al-Nawawi berkata, “Menurut Ibnu Jarir dan yang lainnya, hadis ini mencakup segala bentuk kebaikan. Sebab apabila manusia melihat orang yang diberi kelebihan daripada dirinya dalam masalah dunia, niscaya hal itu akan menuntut jiwanya untuk mendapatkan sesuatu yang sama, meliputi apa yang dia miliki dari nikmat Allah, dan sangat ingin menambah miliknya agar dia dapat menyamai orang itu atau hampir mendekatinya.Ini lah yang sering terjadi di kalangan masyarakat.Sementara itu,apabila dia melihat urusan dunia itu kepada orang yang lebih rendah darinya, akan terlihat nikmat Allah kepadanya, dia akan mensyukurinya, menyukai tawadhu, dan melakukan kebaikan.
- Mengetahui bahwa manusia layaknya budak yang dimiliki Tuannya. Sebab, sesungguhnya dia tidak pernah memiliki sesuatu secara mutlak. Segala sesuatu yang dia miliki terbatas pada persembahan Tuannya. Al-Hasan berkata, “Nabi Musa pernah berkata, “Wahai Tuhanku! Bagaimana bisa Adam bersyukur dengan apa yang Engkau berikan kepadanya? Engkau menciptakan kedua tangannya, Eng- kau meniupkan ruh-Mu kepadanya, Engkau menempatkannya di surga-Mu, dan Engkau memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya.’ Maka Allah menjawab, ‘Wahai Musa! Dia tahu bahwa semua itu adalah dari-Ku, lalu dia memuji-Ku atas semua yang dia miliki. Karena-nya, itulah ungkapan syukur darinya atas apa yang Aku berikan kepadanya.”
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. mengerjakan shalat hingga kedua kakinya bengkak. Lalu bertanya kepadanya, “Mengapa engkau melakukan hal ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Beliau pernah berkata, “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” Yakni bahwa segala sesuatu yang telah diberikan Allah kepada dirinya, dari pemilihan sebagai pembawa risalah, hidayah, dan ampunan adalah anugerah dari Allah yang harus dibimbing dan disyukuri. Dengan kata lain, dia merindukan, “Aku ini hanyalah hamba-Nya.”
Baca juga: 3 Cakupan Rasa Syukur Seorang Hamba
- Menggunakan nikmat itu dan tidak menimbunnya. Diriwayatkan dari Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakek-nya bahwa Nabi Saw. bersenda gurau, “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah dengan tanpa kikir dan tidak berlebihan. Sesungguhnya Allah sangat senang melihat jejak nikmat-Nya kepada hamba-Nya.”
- Sedekah. Diriwayatkan bahwa Nabi Daud a.s. berkata dalam doanya, “Mahasuci Engkau yang mengeluarkan rasa syukur dengan pemberian.”
- Zikir kepada Allah. Sesungguhnya pada hakikatnya syukur itu adalah zikir kepada Allah Azza wa Jalla. Allah SWT. berfirman, sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur (QS Al-Isrâ’ [17]: 3).
- Bersikap tawadhu dan meninggalkan kesombongan. Kesombongan itu adalah lawan dari sikap syukur. Sebab hakikat kesombongan adalah ketika seseorang mengira bahwa dialah yang memiliki dan mengatur hidupnya. Adapun syukur adalah mengakui Allah sebagai Pemilik dan Pengatur dirinya.
- Bersikap selalu merasa kurang dalam mensyukuri nikmat Allah. Yakni, seorang hamba itu mengakui bahwa betapapun dia telah bersyukur, maka sesungguhnya dia belum menyempurnakan hak sebuah nikmat dari nikmat-nikmat Allah kepada dirinya.
- Tidak bergaul dengan pelaku kelalaian. Sebab bergaul dengan mereka akan meniadakan ucapan syukur dan memutuskan seorang hamba dari memikirkan nikmat-Nya.
Nu’man bin Basyir r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Menceritakan kenikmatan merupakan bentuk ungkapan syukur, sedangkan meninggalkannya merupakan kekufuran. Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, sesungguhnya dia tidak akan bisa mensyukuri yang banyak. Dan barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka dia tidak bersyukur kepada Allah. Persatuan itu berkah, sedangkan perpecahan adalah azab.”
- Doa. Yakni, semoga Allah menjadikanmu dari golongan orang-orang yang bersyukur, dan membimbingmu ke jalan syukur dan kenaikan syukur yang paling tinggi. Oleh karena itu, diriwayatkan bahwa Nabi Saw. berdoa kepada Mu’adz r.a., “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa untuk selalu berpikir di setiap akhir shalat:
اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَسُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.
Referensi: ‘Iwadh, Ahmad ‘Abduh, 2008, Mutiara Hadis Qudsi Jalan Menuju Kemuliaan dan Kesucian Hati, Bandung: PT Mizan Pustaka