“Bagaimana konsep serta sistem pengelolaan zakat untuk mencapai target pemberdayaan umat?”
UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan ZakatĀ
Undang-Undang Nomor 23/2011 mengamanatkan kepada umat Islam untuk mengelola zakat dengan baik dan benar serta secara adil dan merata. Istilah “baik dan benar” serta “adil dan merata” merupakan konsep penting dan harus dipahami secara kolektif oleh umat Islam agar pengelolaan zakat itu dapat mencapai target pemberdayaan umat.
Sebagai suatu peraturan hukum yang “baru”, ia memerlukan tahapan pemahaman hingga mencapai seluruh masyarakat. Pemahaman mengenai substansi peraturan hukum tersebut bukan hanya diperuntukkan bagi lembaga pengelola zakat yang sudah ada, juga bagi masyarakat luas sehingga antara pihak pengelola zakat dan masyarakat terjadi sinergi pemahaman yang pada akhirnya akan mempermudah keterlaksanaan pengelolaan zakat di masyarakat. Zakat yang tidak sedikit dipahami sebagai ajaran agama berdimensi ketuhanan pada akhirnya juga dipahami sebagai ajaran agama berdimensi sosial.
5 Kondisi Pengelolaan Zakat Sebagai Tataran Kehidupan Masyarakat
Konsep ini pula yang sempat diuraikan oleh Kuntowijoyo (1993: 283-285) yang menawarkan lima kondisi yang dapat menunjang upaya mengaktualkan kembali ajaran Islam kepada tataran riil kehidupan masyarakat, yaitu:
- Memahami dalil-dalil agama dalam carapandang sosial walaupun dalil tersebut bertutur tentang pribadi individu. Dalam konteks zakat, meskipun Islam mengecam orang yang menumpuk harta, pemahaman yang muncul bukan hanya mengenai tercelanya para penumpuk kekayaan melainkan juga melacak sebab-sebab terjadinya penumpukan harta pada segelintir orang di tengah kehidupan masyarakat yang membutuhkan perhatian.2. Memahami dalil-dalil agama ke arah yang lebih obyektif dan tidak hanya bersifat subyektif. Orientasi zakat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bukan hanya sebagai sarana pembersih harta dan penyucian jiwa seseorang, melainkan bertujuan mendorong terciptanya kesejahteraan sosial.
3. Mengembangkan dalil-dalil agama dari cara pandang normatif kepada cara pandang teoritis. Konsep normatif megenai fakir atau miskin yang menjadi sasaran zakat tidak hanya dilihat dalam kontek lahiriah semata, melainkan dieksplorasi secara komprehensif sehingga dapat diketahui identifikasi yang lebih jelas dan terukur mengenai kategori fakir atau miskin atau pihak lain yang patut menjadi sasaran pendayagunaan zakat.
4. Memahami ajaran Islam secara historis,Ā yaitu memahami kisah masa lalu dalam rangka menemukan refleksinya di masa kini dan masa yang akan datang. Kategori mustadh afin, ‘amiliina ‘alaiha, bukan hanya dipahami menurut kisah masa lalu melainkan juga direfleksikan pada masa kini dengan konteks yang lebih luas tanpa harus kehilangan spiritnya.
5. Menerjemahkan ajaran Islam yang bersifat umum ke dalam wilayah yang lebih spesifik dan empirik. Misalnya,kecaman Islam terhadap praktik perputaran harta di kalangan elit (aghniya), juga harus dipahami sebagai kecaman terhadap praktik-praktik monopoli dan oligopoli oleh penguasa dan pengusaha kapital.
Lima kondisi yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo tersebut patut dipertimbangkan sebagai upaya untuk mengkontekstualisasikan pemahaman mengenai pengelolaan zakat pada masa kini. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23/ 2011 juga perlu diterjemahkan dalam konteks itu agar pihak- pihak yang diberi amanat mengelola zakat dapat memberikan pemahaman secara substansial kepada masyarakat. Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 23/2011 mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan secara komprehensif agar substansi berikut tujuan pengelolaan zakat mencapai target yang diinginkan.
Secara umum, pembinaan didefinisikan sebagai segala usaha dan kegiatan mengenai perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, koordinasi, pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan dengan hasil yang maksimal. Pembinaan ini merupakan suatu perangkat sistem yang harus dijalankan secara fungsional untuk menjamin bertahannya sistem tersebut hingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Baca juga: Potensi Zakat dan Kesejahteraan Masyarakat
Pembinaan pengelolaan zakat berarti suatu pola dan usaha untuk memberikan pembekalan, baik yang bersifat wawasan maupun kemampuan teknis-praktis kepada lembaga pengelola zakat agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, benar, dan amanah. Menurut Undang-Undang Nomor 23/2011, pembinaan ditujukan bagi dua pihak, yaitu lembaga pengelola zakat (BAZNAS, BAZNAS Propinsi, BAZNAS Kabupaten/ Kota, dan LAZ), dan masyarakat. Pembinaan kepada lembaga pengelola zakat, dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/ dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan zakat, baik dari unsur pemerintah, lembaga pengelola zakat maupun dari pihak masyarakat sendiri.
Pasal 34 menyebutkan:
(1) Menteri melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ.
(2) Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.
Sedangkan dalam Pasal 35 disebutkan:
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ;
dan kinerja
b. memberikan saran untuk peningkatan BAZNAS dan LAZ.
Dalam pasal 34 ini, dijelaskan bahwa pembinaan tersebut meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi. Adapun yang dimaksud dengan fasilitasi adalah, suatu kegiatan yang menjelaskan pemahaman, tindakan, keputusan yang dilakukan seseorang dengan atau bersama orang lain untuk mempermudah tercapainya target dan tujuan yang telah dicanangkan. Dalam beberapa hal, fasilitasi disertai dengan istilah pendampingan, yang berarti suatu upaya membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai potensi yang dimilikinya.
Pembinaan Pengelolaan Zakat pada Lembaga Pengelola Zakat
Dalam konteks pembinaan pengelolaan zakat, fasilitasi yang dilakukan dapat diarahkan pada pembentukan kapasitas terkait dengan sumber daya, sumber dana, kelembagaan, kesadaran dan kemandirian masyarakat. Selain itu, pembinaan juga diarahkan pada pentingnya konsep masyarakat sebagai suatu “ummah”, yaitu kesatuan kolektif yang memiliki tanggung jawab antara satu dengan yang lainnya sehingga tumbuh kepedulian sosial yang tinggi melalui pengelolaan zakat. Dan yang tidak kalah penting dalam pembinaan adalah bagaimana memberikan arahan mengenai arus perubahan sosial yang terjadi serta dampaknya bagi kehidupan masya-rakat serta bagaimana mencari jalan keluar yang terbaik.
Sumber: Direktorat Pemberdayaan Zakat. 2013.Ā Standarisasi Amil Zakat di Indonesia. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Jakarta. 124 hal.