Secara tegas disebutkan dalam Al-Quran, Allah SWT menurunkan perintah tentang hukum kewajiban puasa Ramadan kepada umat muslim.
Ayat Tentang Perintah Kewajiban Puasa Ramadan
Allah SWT berfirman artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini dimulai dengan menyeru orang beriman untuk mengingatkan supaya memasang telinga karena akan disebut suatu beban taklif (beban hukum). Lihat Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 291. Surah ini adalah surah Madaniyyah, yaitu turun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah.
Hukum yang dimaksudkan dalam ayat ditujukan pada orang mukmin secara khusus, karena orang kafir tidak diseru pada furuk syariat yang mereka diperintahkan di dunia. Namun, mereka diseru dengan furuk syariat untuk dikenai hukuman bagi mereka di akhirat. Demikian keterangan dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath-Tharifi dalam At-Tafsir wa Al-Bayan li Ahkam Al-Qur’an, 1:202-203.
Hukum Puasa Ramadan
Hukum puasa dan pengertian puasa “Kutiba ‘alaikum” dalam ayat di atas menunjukkan akan wajibnya puasa Ramadan. Imam Asy-Syaukani rahimahullah menyatakan bahwa tidak ada beda pendapat pada para ulama tentang wajibnya puasa Ramadan. Allah telah mewajibkan pada umat ini.
Imam Asy-Syaukani dalam Fath Al-Qadir menerangkan bahwa puasa (ash-shiyam) secara bahasa berarti menahan diri dan tidak bertindak dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Untuk orang yang diam disebut puasa, karena puasa secara bahasa juga adalah menahan diri dari berbicara. Seperti dikisahkan tentang Maryam,
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Rabb Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam: 26). Yang dimaksud berpuasa yang dilakukan oleh Maryam adalah menahan diri dari berbicara sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat,
“Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26). Sedangkan secara istilah, ash-shiyam berarti menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelamnya matahari.
Baca juga: 15 Kiat Optimalisasi Ramadan Agar Semakin Semangat
Bagaimana Puasa Umat Sebelum Datangnya Islam?
Mengenai umat sebelum Islam yang dimaksud adalah ahli kitab yaitu Nashrani.
Alasannya ada dua:
1. Karena Nashrani lebih dekat zamannya dengan Islam yang dibawa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Di masa awal Islam, jika seseorang sudah tertidur di malam hari, maka ia sudah mulai berpuasa tanpa dibolehkan makan sahur lagi setelah itu. Ini semisal dengan puasanya Nashrani. (Lihat penjelasan dalam Ahkam Al-Qur’an karya Ibnul ‘Arabi, 1:120-121).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jika di malam hari mereka tertidur, maka sudah diharamkan bagi mereka makan, minum, dan berhubungan intim dengan istri serta dilarang melakukan pembatal selain itu.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 2:54). Berarti dalam ajaran mereka tidak ada syariat makan sahur seperti kita. Dari Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perbedaan antara puasa kita (umat Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.” (HR. Muslim, no. 1096). Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menyatakan, “Sebagaimana diwajibkan pada umat sebelum kita seperti bani Israil dan selain mereka, yang dimaksudkan adalah sama dalam hal wajib, tetapi bukan tata cara puasanya yang sama. Dalam perincian puasanya berbeda, tetapi dalam kewajiban dan hukum itu sama.” (Tafsir Az-Zahrawain, hlm. 290).
Bagaimanakah bentuk puasa yang dilakukan?
Dilihat dari sisi waktu, ada yang mengatakan bahwa bentuk puasanya adalah puasa Ramadan. Ada yang mengatakan bahwa mereka melakukan puasa hanya tiga hari. Ini juga yang ada di awal-awal Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa yang mereka lakukan adalah puasa Asyura (10 Muharram).
Mengenai bentuk puasanya, mereka meninggalkan seluruh perkataan. Sedangkan syariat Islam hanyalah memerintahkan meninggalkan perkataan dusta, ditekankan lebih daripada saat tidak berpuasa. Lihat penjelasan dalam Ahkam Al-Qur’an karya Ibnul ‘Arabi, 1:120-121.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Telah ditetapkan bagi umat sebelum Islam. Mereka pun ditetapkan puasa selama sebulan penuh pada hari-hari tertentu dengan jumlah hari yang diketahui. Inilah yang diriwayatkan oleh As-Sudi dan selainnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 2: 53).
Sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ath-Thabari, As-Sudi rahimahullah mengatakan bahwa jimak (hubungan intim) dilarang pula bagi umat-umat sebelum Islam ketika berpuasa. Demikian puasanya Nashrani ketika mereka berpuasa di Madinah, mereka meninggalkan makan, minum, dan jimak. Lihat At-Tafsir wal Al-Bayan, 1:205.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah memberikan pelajaran berharga, “Umat Islam telah diwajibkan untuk menjalankan puasa Ramadan sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelum Islam. Karena puasa termasuk amalan yang selalu mendatangkan maslahat bagi setiap umat di setiap zaman.
Oleh karena itu, hendaklah kalian berlomba-lomba dengan umat sebelum kalian dalam menyempurnakan amalan dan bersegera untuk melakukan kebaikan. Itu bisa dilakukan dan tidak mungkin berat.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 86).
Dalam ayat disebutkan, “Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin: 26).
Referensi: Tuasikal, Muhammad Abduh. 2020. Untaian Faedah dari Ayat Puasa. Daerah Istimewa Yogyakarta: Rumaysho.