Bagaimana puasa bagi orang sakit dan orang yang bersafar?
Orang sakit dan yang bersafar biasanya berat untuk menjalankan puasa, maka mereka mendapatkan keringanan kala itu. Namun, karena puasa itu memiliki maslahat yang besar bagi setiap mukmin, maka hendaklah ia mengqadha’ puasanya tersebut di hari yang lain ketika sakitnya sudah sembuh atau ketika sudah selesai bersafar.
Ada beberapa keadaan orang yang sakit yaitu: sakit yang memberatkan puasa, sakit yang menyebabkan kesembuhan tertunda kalau berpuasa, sakit yang sedang dalam proses pengobatan, sakit yang bisa bertambah parah kalau tetap berpuasa, dan bisa sakit kalau berpuasa.
Yang disebutkan di atas itulah yang dimaksud uzur sakit saat berpuasa. Adapun syarat safar adalah yang dilakukan dalam ketaatan atau safar mubah, tidak boleh safar maksiat. Jika puasa bagi orang sakit terasa berat, atau saat bersafar, maka puasa tersebut diqadha’ di hari lain.
Ayat Tentang Keringangan Puasa Bagi Orang Sakit
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Cara Mengqadha’ Puasa Bagi Orang Sakit
Puasa yang tidak ditunaikan di bulan Ramadan hendaklah diganti di hari lainnya. Penunaiannya terserah kapan pun itu. Bahkan Aisyah baru bisa menunaikan qadha’ puasanya di bulan Sya’ban karena saking sibuk mengurus Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, no. 1950 dan Muslim, no. 1146).
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
“Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Syakban karena kesibukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Orang yang mengqadha’ bisa menunaikan qadha’ tersebut di hari yang pendek (musim dingin) untuk mengganti puasa dahulu yang dilakukan di waktu yang panjang (musim panas). Demikian dijelaskan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam kitab tafsirnya.
Baca juga: Hikmah Puasa untuk Mencapai Takwa
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa qadha’ puasa lebih afdal berturut-turut karena akan lebih cepat lepas dari beban kewajiban. Beliau rahimahullah berkata, “Disunnahkan qadha’ puasa Ramadan secara berturut-turut. Jika tidak bisa dilakukan secara berturut-turut, maka tidak mengapa terpisah-pisah.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 24:136). Seperti itu pun tidak dihukumi makruh menurut Ibnu Taimiyah.
Jika qadha’ puasa terlewat hingga Ramadan berikutnya
Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (1:350) disebutkan, “Bagi yang punya uzur terus menerus hingga Ramadan berikut, maka ia wajib bayar qadha saja tanpa fidyah.”
Yang menunda qadha’ puasa hingga masuk Ramadan berikutnya tanpa uzur harus menjalankan dua kewajiban:
(1) qadha puasa sesuai jumlah hari yang belum dibayar dan
(2) membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin.
Adapun yang mendasari adanya fidyah adalah pendapat sebagian sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adanya tambahan fidyah ini yang menjadi pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang tidak mengharuskan tambahan fidyah.
Referensi: Tuasikal, Muhammad Abduh. 2020. Untaian Faedah dari Ayat Puasa. Daerah Istimewa Yogyakarta: Rumaysho