Bagaimana shalat orang dalam perjalanan atau mereka yang sedang bepergian?
Termasuk orang yang memiliki keringanan dalam menjalankan shalat adalah orang yang sedang dalam perjalanan (musafir). Disyariatkan baginya untuk meringkas shalat empat rakaat menjadi dua rakaat. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Alquran, As-Sunah, dan Ijma.
Ayat Tentang Shalat Orang dalam Perjalanan
Allah Ta’la berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu),” (QS. An-Nisaa: 101).
Dalam setiap perjalanan, Rasulullah selalu meringkas shalatnya. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi seorang muslim untuk meniadakan ibadah shalat, sekalipun sedang dalam menempuh perjalanan. Karena pada dasarnya, Islam telah memberikan syariat disertai dengan kemudahan bagi umatnya.
Syarat Shalat Qasar Orang dalam Perjalanan
Shalat qasar dimulai ketika seseorang yang akan melakukan perjalanan keluar dari negerinya. Karena Allah SWT membolehkan qasar bagi orang yang menempuh perjalanan di muka bumi. Sehingga sebelum keluar dari negerinya, ia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang menempuh perjalanan. Hal ini dikuatkan dengan apa yang dilakukan Nabi, bahwa Nabi hanya meringkas jika telah keluar untuk melakukan perjalanan.
Dengan kata lain, qashar shalat baru bisa dikerjakan jika seseorang keluar dari tempat ia bermukim. Jika ia keluar dari rumah terakhir dari kotanya, ketika itu barulah shalat bisa diqashar menjadi dua raka’at. Dalilnya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah empat raka’at, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan: Bir Ali) shalat sebanyak dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 1089 dan Muslim no. 690).
Selain Qasar, Boleh Juga Menjamak untuk Shalat Orang dalam Perjalanan
Seorang musafir dibolehkan menggabungkan antara shalat Zuhur dengan shalat Asar dan antara shalat Magrib dengan shalat Isya di salah satu waktu shalat tersebut. Semua orang yang sedang dalam perjalanan yang diperbolehkan meringkas shalat, diperbolehkan juga menjamak shalat. Ini adalah rukhshah (keringanan) yang bisa dilakukan jika diperlukan, seperti jika perjalanan yang ditempuh terasa berat atau sangat jauh.
Baca juga: Bolehkah Shalat di atas Kendaraan?
Hal di atas sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz r.a., ia berkata: Rasulullah ketika perang Tabuk, apabila memulai perjalanan sebelum tergelincir matahari maka Nabi menggabungkan shalat Zuhur dengan shalat Asar dan mengerjakan keduanya di waktu shalat Asar. Jika Nabi memulai perjalanan setelah tergelincir matahari, maka Nabi menggabungkan shalat Zuhur dengan shalat Asar di waktu Zuhur, kemudian Nabi memulai perjalanan. Nabi juga melakukan hal yang sama pada shalat Magrib dan shalat Isya. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Jika seorang musafir berhenti dalam perjalanannya untuk beristirahat, maka lebih afdal baginya untuk melaksanakan setiap shalat pada waktunya dengan qasar, tanpa menjamak antara shalat yang satu dengan shalat yang lain.
Bagi orang yang sakit yang merasa kesulitan jika melakukan setiap shalat pada waktunya masing-masing, maka ia dibolehkan menjamak shalat Zuhur dengan shalat Asar dan shalat Magrib dengan shalat Isya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata, Disyariatkannya menjamak shalat dalam satu waktu adalah untuk menghilangkan kesulitan dari umat ini. Apabila umat merasa perlu untuk menjamak shalat, maka mereka diperbolehkan untuk melakukannya.
Semua Hadis tentang jamak shalat menunjukkan bahwa hal itu adalah untuk menghilangkan kesulitan dari umat Rasulullah. Oleh karena itu. seseorang dibolehkan untuk menjamak shalat apabila ia tidak melakukannya maka akan merasa kesulitan. Padahal, kesulitan tersebut telah dihapuskan oleh Allah dari umat ini. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang sakit dan merasa kesulitan untuk mengerjakan shalat pada waktunya masing-masing, maka ia lebih pantas untuk diperbolehkan menjamak shalat.
Lebih afdal bagi orang yang dibolehkan menjamak shalat untuk melakukan yang lebih mudah baginya, baik menjamak takdim (menjamak di waktu shalat pertama) atau menjamak takhir (menjamak di waktu shalat yang kedua).
Jika tidak ada keperluan untuk melakukannya, maka lebih afdal bagi seorang musafir untuk melaksanakan setiap shalat pada waktunya masing-masing. Rasulullah pada waktu haji tidak menjamak kecuali di Arafah dan di Muzdalifah. Ketika berada di Mina, Nabi tidak menjamak karena saat itu Nabi menginap di sana. Nabi menjamak jika perjalanan terasa berat.
Sahabat, itulah tadi tata cara juga syarat shalat orang dalam perjalanan. Sejauh apapun jarak yang ditempuh, maka bukan menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban shalat. Karena shalat adalah tiang agama, amalan yang pertama kali akan dihisab, maka semoga kita semua termasuk golongan yang senantiasa menunaikan dan menjaganya. Aaamiin.
Daftar Pustaka: Al-fauzan, Saleh bin. 2020. Ringkasan Fiqih Islam (Ibadah & Muamalah) Yogyakarta: Penerbit Mueeza